POTENSI sumber daya alam di Aceh Besar sangat kaya, potensi tersebut tersebar di 23 kecamatan dari segala sektor; pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, dan bahkan memiliki sumber daya mineral di Kecamatan Lhoong, Indrapuri, Lhoknga, dan Seulimeum.

Selain itu, potensi air di beberapa lokasi menjadi sumber daya energi listrik tenaga air, termasuk kandungan panas bumi di kawasan pegunungan Seulawah. Potensi sumber daya alam tersebut sangat didukung oleh sumber daya manusia, hanya saja pengelolaan potensi sumber daya yang masih jauh dari visi pembangunan kesejahteraan mengakibatkan kemajuan pembangunan jalan di tempat.

Sedikitnya, ada dua tantangan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat Aceh Besar saat ini, yakni: Pertama, letak ibu kota di Kota Jantho jauh dari masyarakat sehingga sulit mengefektifkan pelayanan publik dan pembangunan, dan; Kedua, rencana perluasan Kota Banda Aceh, sebagai ibu kota Provinsi Aceh. Kedua tantangan ini, semestinya menjadi agenda utama untuk dicarikan solusi oleh pemimpin baru Aceh Besar, bapak Mukhlis Basyah dan bapak Syamsul Rizal.

Para pimpinan Aceh Besar, baik yang menjabat sebagai eksekutif maupun legislatif hendaknya mempertemukan kepentingan politik guna mendesain rencana strategis yang tepat menjawab kebutuhan penguatan sistem pelayanan publik yang menjangkau seluruh kecamatan, pelaksanaan agenda pembangunan strategis berdasarkan potensi kawasan, dan memadukan agenda pembangunan dengan Banda Aceh dan Sabang.

Kurang tepat

Pemindahan ibu kota atas alasan jangkauan dari/ke publik yang jauh merupakan alasan yang kurang tepat, karena hal tersebut mudah didapatkan solusinya, yaitu membuat satu konsep birokrasi dengan memberikan otoritas yang lebih besar pada tingkat kecamatan untuk melayani seluruh kebutuhan administrasi masyarakat. Tentunya, proposal tersebut berlangsung atas persetujuan Mendagri, dan kalau pendekatan ini berhasil maka Bupati dan Wabup akan memperoleh penghargaan atas inovasi pemenuhan pelayanan publik.

Jika alasan pemindahan karena tidak meratanya pembangunan, maka visi pimpinan Aceh Besar sangat penting. Kelemahan selama ini adalah lemahnya visi pimpinan Aceh Besar untuk mendesain agenda pembangunan dengan memanfaatkan potensi kapital sosial dan sumber daya alam.

Selama ini, para pimpinan di Aceh Besar baru mampu mempergunakan anggaran yang bersumberkan dari alokasi dana yang tersedia, di mana 70-80% dana tersebut dialokasikan untuk dana rutin. Maka alokasi 20-30% anggaran bagi pembangunan mengakibatkan pencapaian pembangunan selama 29 tahun terakhir sangat lamban.

Pencapaian pembangunan yang rendah mengakibatkan munculnya keinginan memindahkan ibukota dan memekarkan Aceh Besar. Padahal keinginan tersebut bukanlah harapan, tujuan, visi dan misi utama ketika penetapan Jantho sebagai ibu kota Kabupaten Aceh Besar pada 1984. Luas wilayah Kabupaten Aceh Besar mencapai 2.686 km persegi merupakan suatu potensi bagi mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Pemerintah hendaknya komit pada efektifitas anggaran supaya dapat mengoptimalkan ketersediaan sarana dan prasarana guna mendukung peningkatan produksi masyarakat, memfasilitasi teknologi dengan melibatkan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) serta perguruan tinggi lainnya, dan mengontrol pasar supaya stabilitas harga terjamin.

Jika kebijakan tersebut berlangsung pada pemerintahan Aceh Besar, maka 75% aktifitas pemerintahan ada di tengah-tengah masyarakat. Fungsi Jantho hanyalah pusat para pimpinan (eksekutif dan legislatif) untuk membuat dan menetapkan kebijakan strategis pembangunan.

Pinto Kutaraja

Kota Banda Aceh merupakan ibu kota Provinsi Aceh, yang diapit diapit oleh Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar. Kota yang memiliki luas 64 km persegi seluruhnya berbatas dengan Aceh Besar, untuk itu Aceh Besar merupakan pinto (gerbang) utama menuju Banda Aceh, baik dari kawasan Timur-Tengah (Saree) maupun kawasan Barat-Selatan (Lhoong). 

Selain itu, Aceh Besar merupakan wilayah yang menghubungkan Aceh ke provinsi-provinsi lainnya di Tanah Air (Nasional) dan dunia Internasional, karena letak pelabuhan laut dan bandar udara (airport) Internasional berada di Kruengraya dan Blangbintang.

Semakin berkembangnya Banda Aceh mengakibatkan pembangunan perkantoran dan permukiman baru terpaksa dilakukan di kawasan Aceh Besar. Keadaan tersebut hendaknya disadari oleh Wali Kota Banda Aceh dan Bupati Aceh Besar untuk mendesain pendekatan pembangunan yang terpadu. Bahkan, kalau perlu, mendorong Gubernur Aceh untuk menetapkan kedua daerah tersebut sebagai wilayah khusus ibu kota Aceh.

Pemerintah Aceh dapat menetapkan kota Banda Aceh sebagai kota pelajar dan wisata, termasuk pusat perkantoran pemerintahan. Sedangkan pusat ekonomi dan bisnis dapat dikembangkan sedikit keluar Banda Aceh, lokasi tersebut sangat tepat berada di kawasan Lambaro Kaphee. Jadi, perluasan Kota Banda Aceh tidak mesti diperluaskan secara wilayah, melainkan cukup dengan membangun perencanaan terpadu antara Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar semua kebutuhan tersebut diperoleh solusi yang membangun.

Agenda Strategis

Semestinya pemerintahan dan masyarakat Aceh Besar mengoptimalkan energinya untuk membangun rencana strategis daripada memindahkan ibu kota ataupun memekarkan Aceh Besar. Kalau mereka terus berkutat pada pemikiran tersebut maka pembangunan Aceh Besar menjadi set-back. Padahal pengembangan pembangunan semakin hari semakin berkembang ke wilayah-wilayah terluar. Bukanlah tidak mungkin ketika penggagas menetapkan ibu kota Aceh Besar di Kota Jantho, visi pembangunan yang terbangun ketika itu adalah Aceh di tahun 2084, di mana pusat Kutaraja berkembang ke Jantho.

Maka, hendaknya pemerintahan Aceh Besar dapat melakukan intervensinya pada level kebijakan (elite level) guna menumbuhkan motivasi dan komitmen bagi kuatnya gagasan dan pemikiran politik-ekonomi. Kebijakan ini dapat mendorong terbangunnya agenda pengelolaan sumber daya alam yang manageable dan tepat sasaran.

Keadaan tersebut mempermudah intervensi pemerintah dalam memperkuat sosial-budaya (grass-root level), masyarakat menjadi mampu untuk menempatkan dirinya dengan perkembangan daerahnya sendiri. Kekuatan sosial-budaya itulah yang menjadi benteng kokoh untuk berinteraksi dengan perkembangan global yang semakin hari semakin dekat dengan Aceh. Jika para pimpinan Aceh Besar tidak mempersiapkan diri dan masyarakatnya, maka Aceh Besar terus berkutat pada kontradiksi internal yang tak berujung.

Akhirnya, penulis mengharapkan pada masyarakat Aceh Besar khususnya dan Aceh secara umum untuk terus melakukan inisiatif-inisiatif baru guna menciptakan gagasan dan mengimplementasikannya lewat aksi-aksi nyata. Perbedaan kelompok, etnis, agama dan pemahaman hendaknya kita pertemukan dalam kepentingan politik-ekonomi Aceh yang terkelola untuk kesejahteraan masyarakat dan kemajuan Aceh di mata dunia.

Juanda Djamal, Sekjen Konsorsium Aceh Baru. Email: joe.ougex@gmail.com
Sumber : aceh.tribunnews.comFoto      : acehbesartourism.com

Posting Komentar

 
Top