KAPAL cepat ‘Pulo Rondo’ milik Kementerian Perhubungan RI dan Kapal cepat ‘Pulo Deudap’ milik Pemerintah Aceh sudah setahun lebih tak lagi beroperasi pada rute pelayaran Ulee Lheue-Balohan, Sabang dan sebaliknya.

Kapal cepat Pulo Rondo yang diproduksi tahun 2002 dengan anggaran Rp 20,7 miliar sudah terparkir 14 bulan di Pelabuhan Ulee Lheue dan tiga bulan di Pelabuhan Balohan. Sedangkan kapal cepat Pulo Deudap yang diproduksi tahun 2003 dengan dana APBA Rp 22 miliar hampir dua tahun terparkir di Dermaga Pelabuhan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) Sabang.

Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika (Dishubkomintel) Aceh, Ir Hasanuddin melalui Kabid Laut, Siti Hasanah kepada Pansus I DPRA di Pelabuhan Ulee Lheue, Senin (25/5) mengatakan, kapal Pulo Rondo tak beroperasi lagi karena pihaknya sudah memutuskan kontrak pengelolaannya yaitu PT Pelnas.

Pemutusan kontrak itu, menurutnya, dilakukan karena perusahaan itu tak menepati janji atau wanprestasi. Bentuk wanprestasi tersebut, kata Siti Hasanah, antara lain perusahaan tidak menyetor jasa uang sewa kapal kepada Pemerintah Aceh senilai Rp 840 juta dan selama mengoperasikan kapal itu, PT Pelnas tidak mengasuransikan kapal Pulo Rondo. Sehingga, jika terjadi kecelakaan dalam pelayaran Ulee Lheue-Balohan, penumpang muapun kapalnya tak mendapat klaim asuransi .

Meski sudah diputuskan kontrak, kata Siti Hasanah, tapi penagihan uang sewa Rp 840 juta yang belum disetor PT Pelnas tetap dilakukan melalui pengacara negara yaitu Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh. Dikatakan, Polda Aceh juga sudah pernah memeriksa sejumlah staf Dishubkomintel Aceh untuk membantu penyelesaian penagihan tunggakan dana sewa kapal itu.

Mengenai Kapal Pulo Deudap, Siti Hasanah kepada Ketua Pansus I DPRA, HT Ibrahim ST MM bersama anggotanya Abdurrahman Ahmad, Ghufran Zainal Abidin, Mawardi Ali, Akhyar Rasyid dan lainnya mengatakan, kapal itu kini terparkir di Pelabuhan BPKS Sabang.

Pada 18 Juli 2011, kata Siti Hasanah, kapal Pulo Deudap dikontrak BPKS. Kapal itu diperbaiki BPKS dengan dana APBN senilai sekitar Rp 7 miliar. Setelah diperbaiki dan masa perbaikannya terlalu lama di galangan kapal, perizinan operasinya berakhir. Itu diketahui pada saat akan dilakukan lelang umum ke rekanan untuk pengoperasian kapal itu. Karena Banyak perizinan kapal yang sudah mati, kapal itu sampai kini tak bisa dilelang. Sehingga kapal itu masih terparkir di Dermaga Pelabuhan BPKS Sabang.

Pada 7 April 2014, Ketua BPKS Fauzi Husin menyurati Gubernur Aceh yang isinya akan mengembalikan kapal itu kepada Pemerintah Aceh. “Untuk mengoperasikan kembali Kapal Pulo Deudap itu, kami sedang memproses berbagai izin yang sudah mati. Untuk Kapal Pulo Rondo menunggu hasil audit tehnis dari Kemenhub, baru anggaran perbaikannya diusulkan dalam RAPBA 2016,” pungkasnya.

Menanggapi hal itu, Ketua Tim Pansus I DPRA, HT Ibrahim (Demokrat), bersama anggota, Abdurrahman Ahmad (Gerindra), Ghufran Zainal Abidin (PAN), Mawardi Ali (PAN) dan Akhyar A Rasyid (PA) menilai Pemerintah Aceh belum mampu menjaga dan mengelola aset berharga dengan baik dan profesional, bagi kesejahteraan rakyat.

Buktinya, dua kapal cepat yang terbuat dari aluminium tebal tersebut saat ini terancam jadi aset rongsokan. Harusnya, kata Abdurrahman Ahmad, Guhfran Zainal Abidin dan Mawardi Ali, kapal cepat yang diproduksi dengan anggaran yang cukup besar dipelihara dengan baik dan kalaupun disewakan kepada pihak ketiga, harus dicari yang pihak yang mempunyai uang dan pengalaman dalam mengelola kapal cepat.

“Bukan seperti yang terjadi selama ini, perusahaannya saja yang terkenal, tapi yang diberi kuasa kurang modal dan tak profesional,” ujar Ketua Tim Pansus I DPRA, HT Ibrahim ST MM. Pihaknya, kata Ibrahim, kini menunggu program perbaikan dan rencana operasi kedua unit kapal cepat itu dari Dishubkomintel Aceh, agar bisa dioperasikan kembali. “Kita tidak ingin kapal cepat milik pemerintah yang menjadi kapal perintis, mati dan kalah bersaing dengan kapal swasta yang terbuat dari fiber,” harapnya.(*)

Sumber : aceh.tribunnews.com

Posting Komentar

 
Top