PANSUS I DPRA yang kini sedang melihat hasil kerja APBA 2014, menemukan berbagai proyek fisik yang dinilai tidak efisien dan efektif. Misalnya, pembangunan jembatan Limpok, Darussalam, Banda Aceh. Pembangunannya sudah dimulai tahun 2008 dengan membangun satu kepala jembatan (abudmen) dengan anggaran sekitar Rp 2 miliar. Setelah itu, pembangunannya terhenti. Lalu, dialokasikan kembali pada tahun 2013 dan 2014 masing-masing sekitar Rp 2 miliar. Pekerjaan yang dilakukan adalah pemancangan tiang beton ke sumur jembatan di tiga titik.
Ketua Tim Pansus I DPRA, HT Ibrahim ST MM, mengatakan, tujuan pembangunan jembatan Limpok itu untuk mengalihkan sebagian kepadatan arus lalu lintas di jembatan Lamnyong yang terjadi setiap pagi saat jam sekolah dan kerja PNS maupun jam pulang kuliah dan pulang kerja PNS pada sore hari.
“Kalau alokasi anggaran untuk proyek prioritas yang mendesak seperti jembatan Limpok cilet-cilet, maka untuk menyelesaikan proyek itu butuh waktu 25 tahun lagi,” ungkap T Ibrahim. Alokasi anggaran cilet-cilet itu, menurut Ibrahim, menyakiti hati rakyat. Rakyat boson menunggu hasil pembangunan yang terlalu lama, sementara kalau untuk kepentingan pejabat, anggarannya cukup besar.
Proyek jembatan Limpok, kata Ibrahim, sepertinya ada pihak yang ‘bermain’ di belakangnya. Motifnya perlu diselidiki lebih dulu. Karena, untuk mengatasi kemacetan arus lalu lintas di jembatan Lamnyong tersebut, Dinas Bina Marga Aceh tahun ini sudah mengalokasikan dana Rp 40 miliar. Dana itu akan digunakan untuk membangun satu jembatan baru selebar jembatan yang sudah ada. Pembangunannya akan dituntaskan dalam waktu dua tahun dengan perkiraan anggaran Rp 90-Rp 100 miliar.
Pengalokasian anggaran cilet-cilet, kata Ibrahim, juga terjadi dalam pelaksanaan dua proyek waduk di Aceh Besar, yaitu Waduk Blang Karam dan Waduk Tuih Geulumpang. Untuk memfungsikan Waduk Blang Karam dengan luas genangan 12 hektare dan daya tampung air 500.000 m3, dibutuhkan dana sekitar Rp 40-Rp 50 miliar. Sementara dana yang dialokasikan cilet-cilet. Pada awal pembangunan tahun 2014 dialokasikan Rp 7,2 miliar dan tahun ini Rp 5 miliar.
Untuk proyek Waduk Tuih Geulumpang dengan luas genangan sekitar 12 hektare dan daya tampung air sekitar 600.000 m3, butuh dana Rp 40-Rp 50 miliar. Tapi, dalam pengalokasian anggarannya, sangat tidak beraturan. Tahun pertama yaitu 2013 dialokasikan Rp 2,9 miliar, tahun 2014 naik jadi Rp 14 miliar, dan tahun 2015 turun lagi menjadi Rp 5 miliar. Untuk memfungsikan waduk itu, masih butuh tambahan dana sekitar Rp 20 miliar.
Anggota Pansus I DPRA dari Partai Aceh, Akhyar A Rasyid mengatakan, tiap peroyek sudah ada perencanaan dan hitungannya. “Jadi, jangan seperti yang terjadi sekarang, banyak pembangunan jembatan yang pada tahun pertama dan kedua dikerjakan, tapi tahun selanjutnya tidak dikerjakan lagi,” ungkapnya.
Contohnya Jembatan Ie Lang. Jembatan gantungnya sudah tak layak lagi dilintasi sepeda motor maupun mobil pribadi dan pikap, tapi sampai kini jembatan rangka baja maupun beton belum juga diselesaikan. Sementara masyarakat sudah menunggunya tiga tahun lalu, agar jembatan itu bisa dituntaskan.
“Kalau seperti ini pola kerja dan sistem pengalokasian anggaran yang dilakukan Bappeda Aceh bersama SKPA dalam membangun infrastruktur di Aceh, sampai habis dana otsus, Aceh tetap saja tertinggal dari daerah lain seperti Sumatera Utara,” ungkap Akhyar.(*)
Ketua Tim Pansus I DPRA, HT Ibrahim ST MM, mengatakan, tujuan pembangunan jembatan Limpok itu untuk mengalihkan sebagian kepadatan arus lalu lintas di jembatan Lamnyong yang terjadi setiap pagi saat jam sekolah dan kerja PNS maupun jam pulang kuliah dan pulang kerja PNS pada sore hari.
“Kalau alokasi anggaran untuk proyek prioritas yang mendesak seperti jembatan Limpok cilet-cilet, maka untuk menyelesaikan proyek itu butuh waktu 25 tahun lagi,” ungkap T Ibrahim. Alokasi anggaran cilet-cilet itu, menurut Ibrahim, menyakiti hati rakyat. Rakyat boson menunggu hasil pembangunan yang terlalu lama, sementara kalau untuk kepentingan pejabat, anggarannya cukup besar.
Proyek jembatan Limpok, kata Ibrahim, sepertinya ada pihak yang ‘bermain’ di belakangnya. Motifnya perlu diselidiki lebih dulu. Karena, untuk mengatasi kemacetan arus lalu lintas di jembatan Lamnyong tersebut, Dinas Bina Marga Aceh tahun ini sudah mengalokasikan dana Rp 40 miliar. Dana itu akan digunakan untuk membangun satu jembatan baru selebar jembatan yang sudah ada. Pembangunannya akan dituntaskan dalam waktu dua tahun dengan perkiraan anggaran Rp 90-Rp 100 miliar.
Pengalokasian anggaran cilet-cilet, kata Ibrahim, juga terjadi dalam pelaksanaan dua proyek waduk di Aceh Besar, yaitu Waduk Blang Karam dan Waduk Tuih Geulumpang. Untuk memfungsikan Waduk Blang Karam dengan luas genangan 12 hektare dan daya tampung air 500.000 m3, dibutuhkan dana sekitar Rp 40-Rp 50 miliar. Sementara dana yang dialokasikan cilet-cilet. Pada awal pembangunan tahun 2014 dialokasikan Rp 7,2 miliar dan tahun ini Rp 5 miliar.
Untuk proyek Waduk Tuih Geulumpang dengan luas genangan sekitar 12 hektare dan daya tampung air sekitar 600.000 m3, butuh dana Rp 40-Rp 50 miliar. Tapi, dalam pengalokasian anggarannya, sangat tidak beraturan. Tahun pertama yaitu 2013 dialokasikan Rp 2,9 miliar, tahun 2014 naik jadi Rp 14 miliar, dan tahun 2015 turun lagi menjadi Rp 5 miliar. Untuk memfungsikan waduk itu, masih butuh tambahan dana sekitar Rp 20 miliar.
Anggota Pansus I DPRA dari Partai Aceh, Akhyar A Rasyid mengatakan, tiap peroyek sudah ada perencanaan dan hitungannya. “Jadi, jangan seperti yang terjadi sekarang, banyak pembangunan jembatan yang pada tahun pertama dan kedua dikerjakan, tapi tahun selanjutnya tidak dikerjakan lagi,” ungkapnya.
Contohnya Jembatan Ie Lang. Jembatan gantungnya sudah tak layak lagi dilintasi sepeda motor maupun mobil pribadi dan pikap, tapi sampai kini jembatan rangka baja maupun beton belum juga diselesaikan. Sementara masyarakat sudah menunggunya tiga tahun lalu, agar jembatan itu bisa dituntaskan.
“Kalau seperti ini pola kerja dan sistem pengalokasian anggaran yang dilakukan Bappeda Aceh bersama SKPA dalam membangun infrastruktur di Aceh, sampai habis dana otsus, Aceh tetap saja tertinggal dari daerah lain seperti Sumatera Utara,” ungkap Akhyar.(*)
Sumber : aceh.tribunnews.com
Posting Komentar